Indonesia dan senjata pemusnah massal
Saat ini, Indonesia tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti senjata nuklir maupun kemampuan untuk mengembangkannya. Namun, Indonesia memiliki sumber daya alam untuk energi nuklir, seperti uranium dan torium.[1] Pada tahun 1960-an, diketahui bahwa Indonesia pernah berupaya mengembangkan senjata nuklir, baik secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan negara pemilik senjata nuklir seperti Tiongkok. Meskipun tidak pernah dibentuk program resmi, upaya penelitian dan produksi diklaim sedang berlangsung saat itu. Ambisi tersebut akhirnya dihentikan oleh pemerintahan Orde Baru.[2] Saat ini, Indonesia merupakan pendukung kuat pelucutan senjata nuklir dan penggunaan energi nuklir untuk tujuan damai. Negara ini telah menandatangani dan meratifikasi berbagai perjanjian dan konvensi non-proliferasi—termasuk senjata nuklir, biologis, dan kimia—mulai dari tahun 1970 hingga yang terbaru pada tahun 2017.[3] Ambisi nuklir awalPada tahun 1960-an, selama masa pemerintahan Sukarno, Indonesia berupaya untuk memperoleh dan menguji senjata nuklir. Setelah Tiongkok melaksanakan Proyek 596 pada 16 Oktober 1964, pemerintah Indonesia secara terbuka menyatakan niatnya untuk memiliki senjata nuklir. Banyak pihak berspekulasi bahwa Indonesia akan memperoleh bom tersebut dengan meminta bantuan dari Republik Rakyat Tiongkok melalui poros Jakarta–Peking yang baru dibentuk.[2] Pada 15 November 1964, satu bulan setelah pelaksanaan Proyek 596 oleh Tiongkok, Brigjen Hartono Wirjodiprodjo, Direktur Persenjataan Angkatan Darat, menyatakan bahwa Indonesia kemungkinan dapat meledakkan bom atomnya sendiri pada tahun 1965, dengan penelitian yang telah berjalan. Hal ini dilaporkan oleh The New York Times melalui kantor berita Antara.[4] Ia bahkan melangkah lebih jauh pada 2 Februari 1965, dengan mengklaim bahwa 200 ilmuwan nuklir Indonesia tengah melakukan uji coba untuk memproduksi bom atom. Hartono juga menyatakan bahwa akan ada “kejutan” pada Hari Angkatan Bersenjata yang akan datang, yaitu 5 Oktober, yang ditafsirkan banyak pihak sebagai kemungkinan tanggal uji coba nuklir Indonesia.[2] Dalam pidato pada Kongres Muhammadiyah di Bandung pada 24 Juli 1965, Sukarno menyatakan bahwa Indonesia akan memiliki senjata nuklir dalam waktu dekat.[5] Pernyataan tersebut menandai perubahan arah dalam pengembangan nuklir Indonesia, dari yang sebelumnya berfokus pada "atom untuk perdamaian" menjadi untuk kepentingan pertahanan dan militer.[6] Meski demikian, Amerika Serikat memandang Indonesia tidak mampu mengembangkan senjata nuklir secara mandiri. Kedutaan Besar AS di Jakarta menganggap pernyataan Sukarno hanyalah propaganda semata. Beberapa pejabat dari Departemen Luar Negeri AS juga menafsirkan pernyataan tersebut sebagai permintaan agar Tiongkok melakukan uji coba nuklir di perairan Indonesia dengan memberi peluang bagi Sukarno untuk mengklaimnya, atau kemungkinan uji coba Tiongkok yang melibatkan kerja sama dengan Indonesia.[7] Namun, pada 30 September 1965, sebuah kudeta gagal yang dikenal sebagai Gerakan 30 September menyebabkan tergulingnya Sukarno dan naiknya Suharto sebagai presiden kedua Indonesia. Suharto tidak menunjukkan ketertarikan untuk melanjutkan ambisi pengembangan senjata nuklir. Pemerintahan Orde Baru menghentikan riset tersebut, yang sekaligus menandai berakhirnya ambisi Indonesia untuk memiliki senjata semacam itu.[5] Badan peneliti dan pengawasPada tahun 1958, pemerintah Indonesia mendirikan Lembaga Tenaga Atom (LTA) untuk mengawasi penelitian nuklir dan mengembangkan energi atom. LTA dibatasi hanya untuk melakukan penelitian damai, termasuk perencanaan dan pembangunan reaktor bekerja sama dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet. Menyadari meningkatnya kepentingan strategis senjata nuklir, Presiden Sukarno mereorganisasi dan mengganti nama lembaga tersebut menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN). Meskipun gagasan untuk mengembangkan senjata nuklir akhirnya ditinggalkan, BATAN kemudian berganti nama menjadi Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan terus berfungsi sebagai lembaga penelitian nuklir nasional utama hingga pembubarannya. Pada tahun 2021, di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, BATAN secara resmi dibubarkan dan diintegrasikan ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama lembaga-lembaga riset nasional lainnya, dengan fungsinya dialihkan ke Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) yang baru dibentuk. Untuk memastikan keselamatan, keamanan, dan kepatuhan terhadap standar internasional dalam penggunaan energi nuklir, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) telah didirikan sebelumnya pada tahun 1998. Fasilitas nuklirSaat ini, Indonesia memiliki tiga fasilitas riset nuklir yang semuanya terletak di Pulau Jawa. Fasilitas-fasilitas ini awalnya dikelola oleh BATAN dan kini berada di bawah ORTN (Organisasi Riset Tenaga Nuklir) di bawah BRIN, dengan pengawasan dari BAPETEN. Reaktor pertama dibangun pada tahun 1965 di Bandung dan menggunakan reaktor TRIGA Mark II yang dipasok oleh Amerika Serikat.[8] Reaktor kedua, yakni Reaktor Kartini di Yogyakarta, dibangun pada tahun 1979 dan juga menggunakan desain TRIGA Mark II, namun dengan kapasitas yang lebih kecil dibandingkan reaktor di Bandung.[9] Reaktor ketiga sekaligus yang paling canggih adalah Reaktor Serbaguna Gerrit Augustinus Siwabessy (RSG-GAS), yang terletak di Tangerang Selatan dan mulai beroperasi pada tahun 1987.[10] Indonesia juga telah mengumumkan rencana untuk membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) untuk keperluan pembangkitan listrik, yang diproyeksikan akan siap pada tahun 2030 atau 2035, bekerja sama dengan negara-negara seperti Kanada, Rusia, dan Tiongkok.[11] Perjanjian internasionalIndonesia telah menandatangani dan meratifikasi sejumlah perjanjian penting terkait non-proliferasi senjata pemusnah massal, antara lain Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (NPT) pada tahun 1970 dan 1978,[12] Konvensi Senjata Biologis (BWC) pada tahun 1972 dan 1991,[13] serta Konvensi Senjata Kimia (CWC) pada tahun 1993 dan 1998.[14] Indonesia juga menandatangani Traktat Pelarangan Uji Coba Nuklir Menyeluruh (CTBT) pada tahun 1998 dan meratifikasinya pada tahun 2012,[15] serta menandatangani Traktat Pelarangan Senjata Nuklir (TPNW) pada tahun 2017 dan meratifikasinya pada tahun 2023.[16] Selain itu, Indonesia merupakan salah satu dari sepuluh negara penandatangan Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) yang melarang pengembangan, pembuatan, perolehan, kepemilikan, atau pengendalian atas senjata nuklir. Indonesia menandatangani SEANWFZ pada tahun 1995 dan meratifikasinya pada tahun 1997.[17] Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia