Operasi Kamtib
Operasi Kamtib (singkatan dari Keamanan dan Ketertiban) adalah sebuah operasi yang dilakukan oleh pasukan ABRI terhadap pasukan Padepokan Mbah Suro di Desa Nginggil pada tanggal 5 Maret 1967. Operasi militer yang berlangsung sehari ini dimenangkan oleh pasukan ABRI dan mereka berhasil menghancurkan Padepokan Mbah Suro. Latar belakangPasca Peristiwa Gerakan 30 September, banyak anggota PKI dan juga beberapa anggota ABRI dari Jawa Timur yang melarikan diri ke Padepokan Mbah Suro yang terletak di Desa Nginggil untuk menghindari penangkapan oleh pemerintah.[1] Pengikut Mbah Suro terus bertambah. Pada tahun 1966, Kejaksaan Negeri Blora memperkirakan jumlah pengikut Mbah Suro mencapai 500.000 orang.[2] Mbah Suro sering berpidato di depan pengikutnya tentang ramalan kedatangan ratu adil dan menyuruh pengikutnya untuk meneriakkan yel-yel "Hidup Mbah Suro" dan "Hidup Soekarno". Orasinya membuat otoritas pemerintah Orde Baru mulai mengawasi pergerakan Mbah Suro sejak tahun 1966.[3] Guna mengantisipasi serangan dari pemerintah Orde Baru, Mbah Suro membentuk pasukan padepokan yang terdiri dari dua batalion yaitu Banteng Wulung dan Banteng Sarinah. Banteng Wulung memiliki 200 personil sedangkan Banteng Sarinah memiliki personil sejumlah 35 wanita.[4] Pangdam Diponegoro telah meminta kepada Mbah Suro untuk menutup padepokannya dan juga mengirimkan utusannya, Mayor Srinardi, untuk membujuknya. Upaya ini sudah dilakukan oleh pemerintah sebanyak empat kali. Namun Mbah Suro menolak permintaan tersebut dan pengikutnya mengerokyok sang utusan Kodam Diponegoro.[5][6][7] Pada bulan November 1966, Tim ABRI Operasi Kalong berhasil menangkap seorang dosen islamologi di Jakarta yang bernama Djaelani karena ingin mengumpulkan kader BTI yang masih ada di Jakarta untuk melancarkan pemberontakan terhadap "kaum feodal". Dalam keterangannya, ia mengungkapkan bahwa ia diperintah oleh anggota PKI bayangan Ngawi bernama Ngabdu yang tinggal di Padepokan Mbah Suro untuk mengumpulkan kader BTI. Dari pengkuan Djaelani, terungkap bahwa Padepokan Mbah Suro menyimpan anggota PKI. Melalui keterangan Djaelani, ditambah lagi dengan keenganan Mbah Suro untuk patuh terhadap perintah Pangdam Diponegoro, pihak ABRI mulai merencakan serangan ke Nginggil yang mereka namakan Operasi Kamtib.[5][8][9] Dalam merencakan Operasi Kamtib ke Desa Nginggil, ABRI mengirimkan pasukannya yang terdiri dari Batalyon 408, 409, dan 410 dan juga pasukan RPKAD. Disamping itu juga, ABRI juga mengerahkan pasukan bantuan dari KODAM V/Brawijaya yaitu Kodim 0805/Ngawi dan Kodim 0813/Bojonegoro. Operasi ini dipimpin oleh Komandan Kodim 0721 Mayor Srinardi dan untuk pasukan RPKAD dipimpin oleh Feisal Tanjung.[10][1] Pertempuran![]() Pada dini hari 5 Maret 1967, pasukan ABRI dari Blora bergerak menuju Desa Nginggil. Sesampainya di Nginggil, unit-unit dari pasukan ABRI mengepung Nginggil. Satu Kompi Batalyon 408 dan Satu Peleton 409 mengepung dari arah Sungai Bengawan Solo di sisi timur desa. Batalyon 410 menutup akses Nginggil dari arah utara dan RPKAD mengepung dari arah barat. Pengepungan Nginggil juga didukung oleh pasukan territorial Kodim 0805 Ngawi dari arah selatan Nginggil dan pasukan Kodim 0813/Bojonegoro dari arah timur desa.[5] Penyerangan pasukan ABRI ini direncanakan akan dimulai pada pukul 05:00. Lima belas menit sebelum penyerangan dimulai, ABRI meledakkan bom plastik dengan harapan agar Mbah Suro dan pengikutnya menyerah.[7] Namun pasukan penembak jitu Mbah Suro yang bersembunyi di daerah hutan lebat membalas ledakan tersebut dengan melepaskan tembakan ke arah pasukan ABRI. Di saat itulah pertempuran dimulai.[5][11] Selama pertempuran berlangsung, beberapa anggota RPKAD berhasil menyusup ke padepokan Mbah Suro tanpa mengeluarkan timah panas. Sesampainya di padepokan, para anggota RPKAD melakukan duel dengan pasukan Mbah Suro yang bersenjatakan gada kayu. Dalam duel tersebut, sebagian anggota RPKAD menyerang pengikut Mbah Suro dengan tangan kosong dan sebagainnya lagi menggunakan pisau komando. Mereka berduel dengan judo dan karate.[11] Di samping itu juga, pasukan Banteng Wulung bergerak maju berhadapan dengan pasukan khusus RPKAD dan unit lainnya walaupun hanya bersenjatakan gada kayu dan ikat kepala yang dikebut-kebutkan karena mereka menganggap bahwa mereka kebal dan sakti. Sambil menyerang pasukan ABRI, mereka meneriakkan yel-yel "Hidup Mbah Suro","Hidup Soekarno", dan "Hidup PKI".[12] Pertempuran dan duel yang berlangsung selama berjam-jam akhirnya selesai pada pukul 17:00 dan dimenangkan oleh ABRI.[5] Pihak ABRI kehilangan tiga pasukannya dari kesatuan RPKAD yaitu Sersan Dua Soerkarno, Kopral Satu Herdi, dan Kopral Satu Darmanto. Selain itu juga, dua pasukan ABRI mengalami cidera berat.[1] Sementara itu, lebih dari 100 pasukan Banteng Wulung dan Banteng Sarinah tewas. Tidak hanya itu saja, operasi ini menewaskan Mbah Suro beserta istri, anggota PKI Jawa Timur, Suradi, dan anggota PKI lainnya yaitu Legi dan Muljono.[12][13] Pihak ABRI juga berhasil menangkap 2000 pengikut Mbah Suro dan membawa mereka ke Ngrawoh untuk diperiksa.[14] Seusai pertempuran, ABRI menyita persenjataan padepokan berupa sebuah pistol Vickers, dua pucuk senjata bren, tiga pucuk senjata chung, sebuah senjata AK-47, satu pucuk sten, dan pistol Colt. Mereka juga membakar 113 rumah untuk mencegah pengikut Mbah Suro bersembunyi dan juga tempat pertapaan Mbah Suro.[5][7] Pasca operasi![]() Sehari setelah Operasi Kamtib, ABRI membebaskan tawanan yang tidak terlibat dalam penyerangan dan mereka kembali ke Nginggil. Sedangkan yang terlibat dibawa ke Markas Korem/073 di Salatiga untuk diinvestigasi lebih lanjut.[15][5] Pemerintah juga menggali kuburan Mbah Suro pada akhir Maret 1967 untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa Mbah Suro sudah meninggal dunia dan juga sebagai investigasi.[11] Pemerintah juga menangkap sisa simpatisan Mbah Suro di Surabaya pada tahun 1968.[16] Tidak hanya itu saja, pemerintah juga menangkap pengikut Mbah Suro di Way Jepara pada September 1967.[17] Pada bulan Juni 1970, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah mengeluarkan perintah pembekuan kegiatan pertapaan aliran Mbah Suro di Nginggil dan melarang penyebaran ajarannya.[18] Pada tanggal 8 April 1967, Komandan Operasi Kamtib, Srinardi, diangkat menjadi Bupati Blora menggantikan R. Soekirno yang berasal dari PNI. Selain itu juga, ia mendapatkan promosi pangkat dari mayor menjadi letnan kolonel.[5][14] Desa NginggilPada tanggal 8 Maret, pemerintah menunjuk seorang anggota polisi di Menden, Ngaisman, sebagai Kepala Desa Nginggil. Di samping itu juga, pemerintah juga mengganti semua perangkat desa dan menggantikan mereka dengan orang-orang yang loyal terhadap Orde Baru.[14] Pemerintah juga membatasi akses ke Desa Nginggil untuk waktu yang lama. Mereka mengerahkan pasukan dari Batalyon 408 untuk menutup akses ke dunia luar. Bagi orang-orang yang mau ke Nginggil harus mendapatkan izin tertulis dari Gubernur Jawa Tengah. Tidak hanya itu saja, pasukan Batalyon 408 juga mengawasi gerak-gerik warga Nginggil.[14] Referensi
Bibliografi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia