Sumartini
BiografiSumartini merupakan anak dari Dipo Leksono dan Karsinem, keduanya petani. Bapaknya meninggal ketika ia berusia 5 tahun. Ia menikah dengan Asih Widodo tahun 1979. Kiprah aktivismePada 8–14 November 1998, kembali terjadi kekerasan terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi. Mereka menolak sidang istimewa yang dinilai inkonstitusional serta meminta presiden untuk mengatasi krisis ekonomi. Aksi ini direspon aparat dengan penembakan yang menyebabkan 18 orang meninggal, 5 orang di antaranya mahasiswa, yaitu Teddy Mardani, Sigit Prasetya, Engkus Kusnadi, Heru Sudibyo, dan BR Norma Irmawan. Sementara korban luka mencapai 109 orang, baik masyarakat maupun mahasiswa. Peristiwa ini diingat sebagai Tragedi Semanggi I.[2] Setelah Sigit meninggal, 2 bulan kemudian seorang pekerja KontraS datang ke rumah, bernama Victor (Victor Da Costa), bersama temannya. Seminggu kemudian ada orang-orang dari TRK (Tim Relawan Kemanusiaan) juga pada datang untuk bergabung mencari keadilan, pengakuan dan kebenaran termasuk mengupayakan pengadilan internasional. Ternyata pertemuan-pertemuan tersebut terus berlanjut dan terus banyak keluarga korban yang lainnya bergabung. Dari kasus 65, sampai pengggusuran.[3] Sumartini dan suaminya, Asih Widodo, membuat rompi bertuliskan "Anakku Sigit Dibunuh Tentara". Rompi itu menjadi simbol pengingat kematian anak mereka, Sigit Prasetyo, mahasiswa YAI semester I. "Walaupun pelaku mungkin sudah lupa, negara sudah lupa, dan masyarakat sudah lupa juga, kami tak akan cengeng. Kami akan terus berteriak, anak kami telah dibunuh tentara," kata Sumartini dengan tegas.[4] Saat acara tabur bunga kematian anaknya, ia mengenakan jaket warna merah bertulisan, "Anakku Sigit Prasetyo mati dibunuh TNI di Semanggi". "Saya merasa pegel, sakit, dan lelah karena persoalan ini berlarut-larut. Kadang saya memang merasa ditinggalkan, tapi saya tidak patah semangat. Saya harus tetap bersemangat demi keadilan untuk anak saya," kata Ny Widodo, orang tua Sigit Prasetyo yang tewas pada peristiwa Semanggi I akibat ditembus peluru tajam.[5] "Tetap saya tuntut," ujar Pak Widodo.[6] Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia