Teori interaksi simbolik
Teori interaksi simbolik merupakan teori yang memiliki asumsi bahwa manusia membentuk makna melalui proses komunikasi.[1] Teori interaksi simbolik berfokus pada pentingnya konsep diri dan persepsi yang dimiliki individu berdasarkan interaksi dengan individu lain. Teori interaksi simbolik diperkenalkan pertama kali oleh Herbert Blumer yang merupakan turunan dari pemikiran George Herbert Mead dalam ruang lingkup sosiologi.[2] Pembahasan interaksi simbolik secara spesifikasinya membahas seorang individu dalam berperilaku dan menentukan keputusan diri dalam ruang lingkup sosial yang dilakukan secara sadar.[2] Menurut Herbert Blumer, terdapat tiga asumsi dari teori ini:
Sedangkan menurut La Rossan, asumsi dalam teori ini adalah:
Manfaat Mempelajari Teori Interaksi SimbolikMempelajari teori interaksi simbolik dapat memberikan beberapa manfaat, diantaranya adalah :
Sejarah Interaksionisme SimbolikInteraksionisme simbolik berkembang pada awal abad ke-20 sebagai respons terhadap pendekatan-pendekatan besar dalam ilmu sosial yang terlalu menekankan struktur sosial dan determinisme. Akar dari teori ini berasal dari pemikiran George Herbert Mead dan Charles Horton Cooley, dua tokoh yang dikenal sebagai pelopor dalam mengembangkan pemahaman mengenai hubungan antara individu dan masyarakat melalui interaksi simbolik.[4] George Herbert Mead adalah seorang filsuf dan akademisi yang mengajar di Universitas Michigan dan kemudian di Universitas Chicago. Meskipun Mead tidak pernah menerbitkan buku semasa hidupnya, gagasan-gagasannya dikumpulkan dan diterbitkan secara anumerta oleh murid-muridnya dalam buku berjudul Mind, Self and Society. Dalam karya tersebut, ia menguraikan pemahamannya mengenai bagaimana manusia membentuk kesadaran diri melalui proses sosial, terutama melalui penggunaan simbol dan bahasa. Mead menekankan bahwa "diri" (self) bukanlah bawaan lahir, melainkan dibentuk melalui interaksi sosial yang berkelanjutan.[5] Mead dipengaruhi oleh berbagai tradisi intelektual, seperti pragmatisme, behaviorisme, evolusionisme, dan filsafat sosial, termasuk pemikiran John Dewey. Salah satu gagasan penting yang ia kembangkan adalah bahwa manusia menggunakan simbol—terutama bahasa—untuk berinteraksi dan membentuk makna bersama. Pandangan ini kemudian menjadi landasan utama dalam interaksionisme simbolik.[6] Charles Horton Cooley, melalui konsep "looking-glass self" atau "diri sebagai cermin sosial", juga memberikan kontribusi penting terhadap perkembangan teori ini. Ia menjelaskan bahwa individu membentuk gambaran tentang dirinya berdasarkan bagaimana mereka percaya orang lain memandang mereka. Gagasan ini turut memengaruhi pemikiran Mead dalam merumuskan teori tentang pembentukan diri. Istilah symbolic interactionism sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Herbert Blumer, murid dan penerus pemikiran Mead. Blumer kemudian mengembangkan dan merumuskan tiga premis utama teori ini: (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki oleh hal tersebut, (2) makna tersebut berasal dari interaksi sosial, dan (3) makna dimodifikasi melalui proses interpretasi yang dilakukan individu. Blumer juga menekankan bahwa masyarakat merupakan hasil dari tindakan sosial yang terus-menerus dinegosiasikan melalui simbol.[7] Dengan berkembangnya studi komunikasi dan sosiologi di Amerika Serikat, interaksionisme simbolik menjadi salah satu pendekatan teoretis utama dalam memahami hubungan sosial, identitas, dan konstruksi makna dalam kehidupan sehari-hari. Hingga kini, teori ini tetap relevan dalam kajian tentang interaksi manusia, media, identitas sosial, dan budaya. plikasiInteraksionisme simbolik dapat digunakan untuk menjelaskan identitas seseorang dalam kaitannya dengan peran sosial yang dipahami sebagai seperangkat ide dan prinsip mengenai apa yang harus dilakukan dalam situasi tertentu. Dalam pendekatan ini, identitas seseorang dibagi ke dalam tiga kategori: identitas situasional, identitas personal, dan identitas sosial. Identitas situasional merujuk pada kemampuan seseorang untuk melihat dirinya sebagaimana dilihat oleh orang lain. Pandangan ini biasanya bersifat sementara, tetapi dapat memberikan dampak besar. Dari pengalaman ini, individu terdorong untuk membedakan dirinya dari orang lain, dan di sinilah identitas personal mulai terbentuk. Identitas personal muncul ketika seseorang berusaha menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya, bukan sekadar persepsi orang lain terhadap dirinya. Dari sini berkembang identitas sosial, yaitu ketika individu merasa memiliki kesamaan dengan orang lain yang berbagi identitas atau ciri identitas yang sama. Pendekatan ini juga dapat diterapkan dalam memahami bagaimana identitas dibentuk dan ditampilkan melalui media sosial. Di platform seperti jejaring sosial, individu dapat menunjukkan identitas mereka melalui unggahan atau status yang dibagikan. Identitas personal tercermin dalam keinginan untuk membagikan pencapaian pribadi sebagai bentuk pembeda dari orang lain. Sementara itu, identitas sosial tampak ketika seseorang menandai (tag) teman dalam foto atau unggahan, yang menunjukkan hubungan dan pengakuan sosial. Identitas situasional dapat terlihat ketika seseorang merasa perlu mempertahankan pendapatnya dalam perdebatan di kolom komentar, sebagai upaya untuk membuktikan diri mereka. Dalam konteks yang lebih luas, pemahaman ini juga diterapkan dalam studi mengenai stigma terhadap gangguan mental. Bruce Link dan timnya meneliti bagaimana ekspektasi terhadap reaksi orang lain dapat memengaruhi individu dengan psikosis. Studi ini mengevaluasi persepsi mereka terhadap diskriminasi, stigma, dan penolakan sosial. Meskipun hanya sebagian kecil peserta mengalami stigma internal yang tinggi, sebagian besar menunjukkan kekhawatiran akan penolakan, kesadaran akan stigma, serta persepsi terhadap diskriminasi dan harga diri yang rendah. Persepsi ini berhubungan erat dengan hasil seperti menarik diri dari lingkungan sosial, rendahnya kepercayaan diri, dan isolasi dari keluarga. Dari semua temuan tersebut, antisipasi terhadap penolakan merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap munculnya stigma internal. Aplikasi pada Peran SosialInteraksionisme simbolik juga dapat digunakan untuk menganalisis konsep peran sosial dan hubungan antarindividu, seperti pertemanan. Sebuah peran sosial mulai terbentuk ketika seorang individu memulai interaksi dengan orang lain yang membentuk suatu lingkaran sosial, di mana individu tersebut menjadi pusat dari dinamika sosial tersebut. Hak dan kewajiban yang dilakukan oleh pusat interaksi dan para partisipan lainnya memperkuat struktur sosial yang terbentuk.[8] Selain peran pusat, lingkaran sosial ini juga melibatkan peserta yang mendapatkan manfaat dari peran utama, serta mereka yang memiliki kemampuan untuk membantu individu pusat dalam mencapai tujuannya. Struktur peran sosial ini tidak selalu bersifat tetap, meskipun budaya dominan dalam suatu masyarakat sering memberikan kerangka dasar bagi pembagian peran. Namun demikian, peran-peran tersebut sebenarnya terbentuk melalui proses interaksi antara individu pusat dan partisipan lainnya.[9] Sebagai contoh, jika individu pusat dalam suatu peran sosial adalah seorang petugas kepolisian, maka lingkup peran tersebut dapat mencakup korban, rekan kerja, operator, petugas pengatur, tersangka potensial, hingga atasan seperti letnan. Peran-peran sosial ini bisa muncul secara tidak terencana, tetapi tetap tunduk pada proses pertukaran tanggung jawab yang terus berkembang di antara para aktor sosial. Melalui pendekatan ini, kajian terhadap berbagai jenis peran sosial, termasuk dalam hubungan pertemanan dan profesi lain, menjadi lebih terbuka dan dapat dipahami secara lebih menyeluruh.[10] Tema Utama dalam Interaksionisme SimbolikHerbert Blumer merumuskan tiga proposisi inti dari perspektif interaksionisme simbolik. Pertama, bahwa manusia bertindak terhadap sesuatu, termasuk terhadap sesama manusia, berdasarkan makna yang mereka miliki terhadap hal tersebut. Kedua, bahwa makna-makna ini muncul melalui interaksi sosial. Ketiga, bahwa makna-makna ini ditafsirkan dan diolah melalui proses interpretatif yang digunakan individu untuk memahami dan menanggapi dunia sosial mereka. Perspektif ini juga dapat dijelaskan melalui tiga prinsip utama, yaitu makna, bahasa, dan pemikiran.[11] Prinsip makna menjadi inti dari perilaku manusia karena tindakan sosial didasarkan pada pemahaman akan simbol. Bahasa berperan dalam memberikan makna karena memungkinkan simbol-simbol tersebut dikomunikasikan. Simbol menjadi pembeda utama dalam relasi sosial manusia dibandingkan dengan makhluk lain. Dengan memberi makna terhadap simbol, manusia dapat mengekspresikan gagasan dan membangun komunikasi. Melalui proses berpikir, makna simbol tersebut kemudian diinterpretasikan secara personal, memengaruhi bagaimana individu bertindak dan merespons situasi sosial.[12] Beberapa tokoh interaksionisme simbolik seperti Erving Goffman juga mengkritik konsep awal yang dikembangkan oleh Mead. Kritik ini menyebut bahwa interaksionisme simbolik cenderung lebih banyak memperhatikan dimensi psikososial dibanding sosiologis. Misalnya, ketika menganalisis interaksi simbolik, sering kali dinamika emosional peserta diabaikan karena dianggap terlalu kompleks untuk diukur. Padahal, ketika seseorang ditempatkan dalam situasi yang tidak biasa, kondisi psikologisnya bisa berubah drastis, memunculkan reaksi spontan dan menyimpang dari perilaku biasanya. Hal ini menunjukkan bahwa persepsi dan interpretasi subjektif terhadap lingkungan juga berperan besar dalam membentuk perilaku. Oleh karena itu, prasangka sosial tidak hanya dapat dilihat dari sisi psikologis, tetapi juga dari konstruksi simbolik atas realitas sosial oleh individu.[13] Prinsip-Prinsip Interaksionisme SimbolikDavid A. Snow, sosiolog dari University of California, Irvine, mengembangkan empat prinsip dasar yang lebih luas dari teori ini, yaitu: agensi manusia, penentuan interaktif, simbolisasi, dan kemunculan (emergensi). Prinsip-prinsip ini menjadi landasan untuk memahami berbagai dinamika sosial, termasuk gerakan sosial.
Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia