Pemerintah Indonesia mengesahkan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengajukan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana serta rancangan undang-undang lainnya
Tujuan
Pencabutan revisi UU KPK dan pembatalan pengesahan RUU KUHP[5]
Rangkaian unjuk rasa ini dimulai pada 23 September di daerah Gejayan, Yogyakarta;[1] Alun-alun Tugu Kota Malang;[2]Semarang;[3] dan Balikpapan,[4] yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi.[17][18] Pada 24 September, bertepatan dengan 20 tahun Tragedi Semanggi II, mahasiswa menggelar unjuk rasa di gedung DPR saat rapat paripurna dan gedung pemerintahan daerah lainnya di berbagai wilayah. Polisi sempat menembakkan gas air mata pada pengunjuk rasa.[19] Pada 25 September, para pelajar setingkat SMA berunjuk rasa di depan gedung DPR. Unjuk rasa ini sempat berlangsung damai, tetapi saat menjelang sore, unjuk rasa memanas dan polisi kembali menembakkan gas air mata pada pengunjuk rasa.[20] Pada 26 September, mahasiswa di Surabaya mengadakan unjuk rasa untuk menuntut PresidenJoko Widodo menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) UU KPK.[21]
Latar belakang
Revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK)
Revisi Undang-undang No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) disahkan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menjabat pada masa jabatan 2014–2019 pada 17 September 2019. Di dalam DPR, semua partai dalam koalisi pemerintah, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Golkar, Partai Nasdem, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), serta partai oposisi Partai Amanat Nasional (PAN) dengan suara bulat menyetujui RUU tersebut.[22] Ratifikasi dilakukan hanya dalam 13 hari sejak inisiasi RUU. Inisiasi RUU tersebut dilakukan pada 5 September 2019 tanpa gangguan signifikan. Pada 11 September 2019, presiden mengeluarkan surat presiden kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk membahas revisi tersebut bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah setuju dengan revisi tersebut pada 16 September, dan RUU itu disahkan pada hari berikutnya.[23]
Revisi ini banyak dikecam oleh para aktivis dan pakar karena mengurangi keefektifan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).[22] Korupsi adalah masalah politik yang signifikan di Indonesia, dan KPK, yang didirikan pada tahun 2002, adalah bagian dari tuntutan reformasi yang mengikuti penggulingan rezim Suharto yang otoriter.[24] Sejak didirikan, KPK telah dikenal menarget politisi dan pengusaha terkemuka.[25] Revisi tersebut menyerukan untuk mengurangi status independen KPK dengan menjadikannya badan pemerintah, membentuk dewan pengawas untuk memantau KPK, mengharuskan para penyelidik KPK untuk mendapatkan izin resmi untuk melakukan penyadapan, antara lain.[22] Menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh Tempo pada 16 September, 82,61% publik menentang revisi tersebut dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk menolak RUU tersebut.[26] Sebelum ratifikasi, sudah ada sejumlah protes skala kecil yang terjadi di berbagai kota. Di Bali, ratusan orang berkumpul pada 12 September 2019 untuk menyampaikan keprihatinan atas RUU tersebut.[27] Di sisi lain, kontra-protes oleh kelompok-kelompok pro-revisi juga diadakan di depan kantor pusat KPK di Jakarta. Beberapa peserta kontra-protes dilaporkan mengaku dibayar untuk berpartisipasi tanpa banyak mengetahui tentang masalah itu sendiri.[28]
Revisi KUHP (RKUHP)
Pada 18 September 2019, DPR membahas RUU tentang revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).[29][30] Revisi KUHP telah dibuat selama beberapa dekade terakhir, dimaksudkan untuk menggantikan perangkat hukum zaman Belanda. Amandemen ini sebelumnya diperkenalkan pada 2015 oleh Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.[25] Sejak awal tahun 2019, kelompok-kelompok Islam konservatif telah mendorong lagi untuk perombakan KUHP.[29] Proposal terbaru mencakup beberapa undang-undang berdasarkan interpretasi agama konservatif, termasuk larangan seks pranikah, hidup bersama di luar pernikahan, melakukan ilmu hitam, dan aborsi tanpa alasan darurat medis dan pemerkosaan. Revisi KUHP juga mengkriminalisasi penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, agama, lembaga negara dan simbol-simbol negara seperti bendera dan lagu kebangsaan.[31] Rancangan KUHP itu dinyatakan sebagai "bencana tidak hanya bagi perempuan dan agama dan minoritas gender, tetapi untuk semua orang Indonesia" oleh Andreas Harsono dari Human Rights Watch.[32] Pemungutan suara dijadwalkan akan diadakan pada 24 September 2019, tetapi untuk menghadapi protes publik, Joko Widodo mengumumkan untuk menunda pemungutan suara pada 20 September 2019. Namun, masih ada kekhawatiran parlemen mendorong pemungutan suara sebelum akhir masa jabatannya pada 24 September 2019.[6]
Tuntutan
Kelompok mahasiswa dengan nama Aliansi Rakyat Bergerak merilis "7 Tuntutan". Sebagian besar protes di seluruh Indonesia juga menuntut hal yang sama. Berikut ini adalah tuntutannya:[33]
Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP
Mendesak pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia
Menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia
Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja
Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria
Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Badan Eksekutif Mahasiswa di Seluruh Indonesia (BEM) juga merilis "7 Desakan". Unjuk rasa mahasiswa di Jakarta pada tanggal 24 September 2019 menuntut desakan ini. Berikut ini adalah desakan tersebut:[34][35]
Menolak RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertahanan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, mendesak pembatalan UU KPK dan UU SDA, mendesak disahkannya RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
Batalkan pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR
Tolak TNI & POLRI menempati jabatan sipil
Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik Papua segera
Hentikan kriminalisasi aktivis
Hentikan pembakaran hutan di Kalimantan & Sumatera yang dilakukan oleh korporasi, dan pidanakan korporasi pembakaran hutan, serta cabut izinnya
Tuntaskan pelanggaran HAM dan adili penjahat HAM, termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan
Mahasiswa dari berbagai universitas di daerah metropolitan Jakarta menanggapi panggilan di media sosial untuk berkumpul di depan Kompleks Parlemen Republik Indonesia di Jakarta. Ada juga sekelompok kecil mahasiswa yang mengatasnamakan diri Mahasiswa Progresif Anti Korupsi (MAPAK). Pada hari ini, baik kamp pro maupun anti-RUU hadir di tempat itu. Kamp anti-RUU meningkat jumlahnya seiring berjalannya waktu, memblokade Jalan Jenderal Gatot Subroto ke arah Slipi.[43] Sejumlah besar petani juga bergabung dalam acara tersebut sejak sore hari untuk memprotes RUU Pertanahan, berjalan dari Istana Merdeka.[44]
Meskipun ada upaya untuk memblokade Jalan Tol Lingkar Dalam Jakarta, demonstrasi berakhir tanpa pertikaian besar.[43] Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan seperti "DPR fasis, antidemokrasi". Protes di Jakarta didanai dengan urun dana melalui KitaBisa.[38] Jumlah pengunjuk rasa mencapai dua ribu.[45]
Demonstrasi juga diadakan secara damai di kota-kota lain, termasuk Yogyakarta, Bandung, Malang, Balikpapan, Samarinda, dan Purwokerto. Demonstrasi di Yogyakarta, Bandung, dan Malang diikuti lebih dari seribu peserta.[38]
Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) menerima pengumuman untuk unjuk rasa lain yang dijadwalkan pada tanggal 24 September 2019. Untuk mengantisipasi acara tersebut, total 18.000 personel dikerahkan di sekitar gedung parlemen. 252 petugas polisi lainnya dikirim untuk mengatur lalu lintas.[45]
Pada hari ini, siswa dari daerah yang jauh termasuk Bandung dan Yogyakarta berpartisipasi dalam demonstrasi di Jakarta. Pada pukul 16.00, kerumunan sudah menempati Jalan Gatot Subroto di depan gedung parlemen. Perwakilan mahasiswa menuntut pertemuan dengan para pemimpin DPR, yang ditolak oleh polisi. Hal ini mendorong para demonstran untuk melemparkan batu dan botol ke dalam gedung, dan akhirnya berupaya untuk menyusup ke dalam gedung parlemen dengan merusak pagar. Polisi merespons dengan menembakkan meriam air ke pengunjuk rasa dan menembakkan gas air mata untuk membubarkan kerumunan. Bentrokan berlanjut hingga tengah malam.[46] Ada laporan kasus polisi yang memukuli seorang demonstran yang lemas di Jakarta Convention Center.[47]
Menurut keterangan polisi, tiga kendaraan polisi dan militer serta tiga pos polisi dirusak. Polisi juga mengonfirmasi penangkapan 94 demonstran, serta 254 demonstran dan 39 petugas polisi terluka. Di antara mereka yang terluka, 11 dilaporkan dirawat di rumah sakit dan 3 terluka kritis.[46][48] Jumlah peserta dalam protes di Jakarta mencapai puluhan ribu demonstran.[29]
Di Padang, ribuan demonstran bentrok dengan polisi dan pasukan keamanan yang dipersenjatai dengan meriam air. Polisi tidak mampu mengatasi para pengunjuk rasa dan mereka akhirnya masuk ke kantor gubernur.[49]
Demonstrasi diadakan dengan damai di kota-kota lain, termasuk Palembang, Semarang, Surakarta, Medan, Lampung, Aceh, dan Makassar. Demonstrasi di Palembang, Lampung, dan Makassar diikuti lebih dari seribu peserta.[40]
25 September
Siswa SMK dari berbagai bagian dari wilayah metropolitan Jakarta melanjutkan kerusuhan di depan gedung parlemen. Pada satu kesempatan, bom molotov digunakan untuk melawan barikade polisi. Polisi menangkap 17 pengunjuk rasa, sebagian besar siswa di bawah umur.
Polisi telah mengkonfirmasi kematian dua pengunjuk rasa. Salah satunya adalah seorang siswa SMA yang meninggal dalam kecelakaan lalu lintas dalam perjalanan ke demonstrasi di Jakarta.[50] Yang lainnya adalah seorang pengunjuk rasa, bukan pelajar ataupun mahasiswa, yang meninggal kemungkinan karena mati lemas.[51]
Seorang jurnalis Narasi TV dilecehkan secara fisik dan telepon genggamnya dirampas oleh anggota Brimob karena mencoba merekam cuplikan langsung selama demonstrasi di Jakarta.[52]
Di Surabaya, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur Kusnadi menemui pengunjuk rasa, menjelaskan bahwa ia tidak memiliki wewenang untuk membatalkan RUU yang kontroversial dan dia secara pribadi juga tidak setuju dengan keputusan yang dibuat oleh DPR RI.[41]
26 September
Di Kendari, Sulawesi Tenggara, dua siswa tewas setelah bentrokan antara demonstran dan polisi di depan gedung DPRD provinsi. Seorang siswa diduga ditembak, dan Ombudsman Republik Indonesia melakukan penyelidikan tentang asal-usul peluru. Kepala polisi Sulawesi Tenggara membantah penggunaan peluru tajam atau peluru karet oleh kepolisian.[53] Kemudian pada malam itu, seorang siswa lain meninggal karena cedera yang disebabkan benda tumpul pada tengkorak,[54] setelah upaya untuk mengoperasi luka-lukanya gagal memperbaiki kondisinya.[55]
Usman Hamid dari Amnesty International menuntut otoritas untuk segera melakukan investigasi dan pertanggungjawaban.[53] Ketua Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), yang salah satu kadernya menjadi korban, menuntut pencopotan Kapolda Sulawesi Tenggara dari jabatannya.[56] Aksi solidaritas untuk para korban diadakan di seluruh negeri.[57][58]
Unjuk rasa terus digelar secara nasional, termasuk di Surabaya, Magelang, dan Ciamis.[59][60][61] Di Magelang, seorang pegawai Dinas Perhubungan terluka saat mengamankan demonstrasi.[62]
27 September
Ratusan siswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mengadakan protes dan membakar ban di depan gedung parlemen di Jakarta dan di tempat lain, menuntut pertanggungjawaban untuk dua korban di Sulawesi Tenggara.[63][64]
Bentrokan terjadi antara pendemo dan polisi anti huru hara di Makassar, dan satu pendemo ditabrak oleh kendaraan taktis polisi.[65]
30 September
Ketika sidang parlemen terakhir diadakan, protes kembali diadakan di beberapa kota. Di Jakarta, pengunjuk rasa dihalangi dari berdemo di depan gedung parlemen karena dibarikade oleh polisi. Protes dilakukan secara damai di Mataram, Pekanbaru, Yogyakarta, dan Kendari.[66]
Tanggapan dan reaksi
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, UU KPK akan berpotensi untuk melemahkan KPK karena kewenangan melakukan penyelidikan yang semakin dibatasi.[67] Sedangkan, ketika RKUHP disahkan, maka dapat membatasi kebebasan berpendapat untuk mengkritik pemerintah dan dapat menghambat program dari pemerintah seperti program kesehatan.[68]
Presiden Joko Widodo menolak untuk mencabut revisi UU KPK. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly juga memastikan bahwa presiden tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut revisi UU KPK. Jokowi dan Laoly menyatakan bahwa isu ini seharusnya diselesaikan melalui prosedur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Laoly mengkritik demonstrasi dan mendorong untuk tidak menormalisasi amendemen dari legislasi secara paksa, karena berisiko mengurangi legitimasi lembaga pemerintahan.[69]
Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, menyatakan untuk menunda pengesahan RKUHP dan akan kembali melanjutkan pembahasan pada anggota DPR pada periode selanjutnya.[70]Menkopolhukam, Wiranto, berpandangan bahwa unjuk rasa tersebut tidak lagi relevan dan mengganggu ketertiban.[71] Presiden Joko Widodo meminta mahasiswa tidak berunjuk rasa dan mengedepankan dialog.[72] Sementara Menristekdikti, Mohamad Nasir, mengingatkan kepada rektor agar mahasiswa tidak turun ke jalan.[73]
Oce Madril, kepala pusat studi antikorupsi di Universitas Gajah Mada mengkritik respons dari Jokowi, menyatakan bahwa dia telah gagal merespons kekecewaan publik terhadap revisi UU KPK. Dia membandingkannya dengan RKUHP yang ditunda, berargumen bahwa tidak adanya keinginan Jokowi untuk mengakomodasi suara rakyat akan memperkuat tuduhan bahwa ada kekuatan korupsi di balik legislasi tersebut, dan presiden itu sendiri adalah bagian dari korupsi tersebut. Oce uga menyatakan bahwa peristiwa ini telah menghancurkan kepercayaan publik terhadap komitmen Presiden Joko Widodo untuk memberantas korupsi.[74]
Pemerintah Amerika Serikat, Britania Raya, dan Australia telah mengeluarkan imbauan perjalanan (travel advice) untuk warga negaranya yang hendak mengunjungi Indonesia.[75]
Kritik terhadap liputan media asing
Protes mahasiswa menjadi berita utama tidak hanya di media nasional tetapi juga di outlet berita internasional. Namun, banyak outlet berita internasional hanya berfokus pada RUU KUHP yang kontroversial, di mana salah satu pasalnya mengkriminalisasi seks pranikah. Ini termasuk BBC, Deutsche Welle, The Japan Times, Al Jazeera, Reuters, The Sydney Morning Herald, dan CNN.[35] Outlet ini menerbitkan artikel yang menyiratkan bahwa orang Indonesia hanya memprotes RUU "seks sebelum menikah" atau "larangan seks di Indonesia", dijuluki oleh BBC dan The Japan Times masing-masing. Hal ini dikritik oleh media dan aktivis Indonesia, karena revisi RKUHP hanyalah salah satu dari beberapa RUU bermasalah yang diprotes mahasiswa. Para siswa memiliki total tujuh tuntutan, yang mencakup beberapa masalah.[35]