Vorstenlanden
Vorstenlanden[1] (bahasa Indonesia: wilayah kepangeranan, negeri berkerajaan, wilayah swapraja), bahasa Jepang: 公地 (kōchi, koti), bahasa bahasa Jawa: ꧋ꦥꦿꦗꦏꦼꦗꦮꦺꦤ꧀, praja kejawen) adalah empat wilayah kepangeranan di pulau Jawa pada masa kolonial Hindia Belanda. Secara nominal, keempatnya merupakan negara bagian yang memiliki pemerintahan sendiri di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda. Namun, otonomi politik mereka menjadi semakin dibatasi oleh perjanjian dan penyelesaian yang berat. Dua di antaranya masih tetap eksis sebagai wilayah kepangeranan di dalam Republik Indonesia yang merdeka saat ini. Keempat negara pangeran Jawa tersebut adalah:
Wilayah-wilayah kepangeranan ini merupakan negara penerus Kesultanan Mataram dan berawal dari perang saudara dan perang perebutan tahta di kalangan bangsawan Jawa. Susuhunan Surakarta mewakili garis suksesi langsung; tiga penguasa lainnya mewakili cabang-cabang kadipaten. Awal mulaKetika Mataram belum terbagi, Kolonial Belanda menyebut wilayah yang dikuasainya sebagai Bovenlanden.[2] Kemudian, Perjanjian Giyanti diadakan pada tahun 1755 yang membagi Mataram menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta dengan wilayahnya masing-masing beserta Negara Agung yang diperintah bersama. Luas wilayahnya pada saat itu terbentang dari masa-kini Cilacap hingga sekitar Gunung Kelud di Jawa Timur.[2] Ikatan budayaSecara khusus, nama ini sering muncul dalam pembahasan di bidang sosiologi pedesaan dan sejarah perkebunan. Daerah Vorstenlanden terkenal sebagai penghasil tebu (gula) dan tembakau cerutu. Untuk tembakau, tradisi ini masih berlangsung hingga sekarang, dengan daerah pusat utama di wilayah tenggara Kabupaten Sleman dan barat Kabupaten Klaten. Era ModernKesultanan Yogyakarta dan Kadipaten PakualamanKesultanan Yogyakarta merupakan satu-satunya tanah kepangeranan yang tetap berstatus istimewa dalam Republik Indonesia saat ini, yaitu sebagai daerah istimewa. Bekas tanah pangeran Pakualaman dikelola sebagai bagian dari Yogyakarta saat ini. Sultan Yogyakarta dan Adipati Pakualaman juga menyandang jabatan politik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang berlangsung seumur hidup, tidak sampai lima tahun seperti provinsi lain di Indonesia meskipun mereka tetap mengadakan pemilihan sebagai bentuk formalitas setiap lima tahun sekali, tetapi hanya satu pasangan calon, Sultan dan Adipati sendiri. Itu sebabnya Yogyakarta adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki gubernur secara turun-temurun. Kasunanan Surakarta dan Kadipaten MangkunegaranMeskipun Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran digabung ke Provinsi Jawa Tengah setelah pembekuan Daerah Istimewa Surakarta, kedudukan Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegaran beserta institusi monarki tradisional masih ada dan tidak dibubarkan. Akan tetapi, mereka tidak memiliki kekuatan politik dan pemerintahan, melainkan berperan sebagai tokoh yang dihormati dan pemimpin seremonial yang memiliki pengaruh tinggi dalam konservasi dan pengembangan budaya Jawa. Sedangkan kekuasaan politik dipegang oleh masing-masing Kepala Daerah Tingkat II yang wilayahnya merupakan bekas daerah kekuasaan Kasunanan dan Mangkunegaran (Surakarta, Klaten, Boyolali, Sragen, Sukoharjo, Karanganyar, dan Wonogiri). Galeri
Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia