Jalur kereta api Banjar–Cijulang
Jalur kereta api Banjar–Cijulang adalah jalur kereta api yang menghubungkan Stasiun Banjar dengan Stasiun Cijulang. Jalur ini termasuk dalam Wilayah Aset II Bandung dan memiliki panjang jalur sekitar 82 km. Jalur ini dulu merupakan jalur yang sibuk. Panorama jalur ini sangat indah mulai dari pegunungan hingga laut. Jalur kereta api ini awalnya dirancang sebagai jalur stoomtram (trem uap), mempunyai banyak jembatan dan 4 terowongan yakni Terowongan Batulawang (281,5 meter), Terowongan Hendrik (105 meter), Terowongan Juliana (147,70 meter), dan Terowongan Sumber atau Wilhelmina (1.116,10 meter). Salah satu jembatan dan terowongan merupakan paling panjang di Indonesia yaitu Jembatan Cikacepit dengan panjang 290 meter dan Terowongan Sumber atau Wilhelmina dengan panjang 1.116,10 meter. SejarahPembangunan![]() Pada 10 Maret 1898, F.J Nellensteyn mengajukan konsesi pembangunan trem penghubung Pameungpeuk–Rancaherang–Klapagenep–Cijulang–Parigi–Cikembulan–Kalipucang–Padaherang-Banjar. Konsesi tersebut diterima pemerintah, tetapi Nellensteyn sendiri tak mengerjakan proyek yang diajukan itu. Pada tahun yang sama, usul datang dari H.J Stroband. Ia mengajukan konsesi pembangunan trem uap dengan jalur yang lebih pendek dari usulan Nellensteyn, yaitu Banjar–Banjarsari–Kalipucang–Cikembulan–Parigi–Cijulang. Namun, usulannya ditolak pemerintah. Kemudian Eekhout van Pabst dan Lawick van Pabst. Akan tetapi, seperti usul sebelumnya, usul Eekhout dan van Pabst pun tidak ditindaklanjuti.[1][2] Residen Priangan sendiri baru mengajukan pembangunan jalur trem Banjar–Parigi pada 1908. Pengajuan ini disertai nota Asisten Residen Sukapura dan Kontrolir Manonjaya. Alasan yang dikemukakan Residen Priangan tak jauh beda dengan yang dikemukakan kalangan swasta, yaitu untuk meningkatkan eksploitasi ekonomi dan pengembangan wilayah Priangan timur dan tenggara. Setelah melalui pertimbangan yang cukup lama, berdasarkan undang-undang tanggal 18 Juli 1911, pemerintah kolonial memutuskan untuk mengeluarkan anggaran untuk membangun jalur trem Banjar–Kalipucang–Parigi.[3] Pembangunan jalur ini sesuai dengan yang diusulkan Residen Priangan.[4] S.A. Reitsma dalam bukunya mendeskripsikan proses pembangunan jalur ini sebagai "sejarah panjang penderitaan dan kekecewaan yang besar." Segmen Banjar–Kalipucang sepanjang 43 kilometer selesai pada 15 Desember 1916. Pada 6 Juni 1919, ujung jalur diputuskan untuk dipindah dari Parigi ke Cijulang. Kelanjutan jalur Kalipucang–Cijulang baru selesai lima tahun kemudian pada 31 Juni 1921.[3] Dengan demikian, pembangunan keseluruhan jalur kereta api Banjar–Cijulang memakan waktu hampir 10 tahun sejak dikeluarkannya peraturan yang menjadi dasar pembangunan. PenutupanDalam buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia jilid 2, tercatat bahwa segmen Pangandaran–Cijulang masuk dalam daftar jalur kereta api yang pernah dibongkar pekerja romusa Jepang untuk kepentingan militer. Upaya perbaikan kembali dilaksanakan oleh Biro Perancang Negara dan Djawatan Kereta Api (DKA) dalam rencana lima tahun 1955–1959, yang hanya memuat rencana pembangunan, tanpa mencatat kegiatan rutin. Hal ini sejalan dengan rencana DKARI sebelumnya yang menarget jalur ini sebagai salah satu jalur yang akan dibangun kembali.[5] Hingga dekade 1970-an, jalur ini aktif melayani kereta api Banjar–Cijulang. Namun, wacana penutupan jalur kereta api ini sudah dikemukakan oleh Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) saat majalah internal DPR RI, Parlementaria, meliput jalur tersebut pada 5–9 Mei 1976. Pihak Parlementaria dan PJKA sepakat menjadikan jalur ini sebagai objek penelitian mengenai kelaikan operasional lintas cabang. PJKA kala itu memiliki masalah yang cukup dilematis; apakah lintas yang saat itu berstatus sebagai lintas cabang ini layak untuk ditutup atau diteruskan pengoperasiannya. Berdasarkan analisis tersebut, masalah yang disorot adalah persaingan dengan kendaraan pribadi jalan raya dan seringnya kecelakaan yang melibatkan kereta api dengan jalan raya. Akibatnya, lintas cabang dianggap tidak menguntungkan bagi PJKA sendiri. Namun, dialog dengan masyarakat dan Bupati Ciamis kala itu, Hudli Bambang Aruman, terus berupaya untuk mempertahankan jalur ini karena kereta api merupakan moda transportasi yang efektif dan efisien untuk pengembangan pariwisata dan peningkatan ekonomi.[6] Namun, masalah ini tak bisa diselesaikan hingga akhirnya PJKA menutup total jalur ini pada 1 Februari 1982.[7] Dua bulan sebelum penutupan ini, tepatnya pada 10 Desember 1981, kereta api yang sudah berjalan sangat lambat tersebut tertemper truk di Cikotok hingga menewaskan pengemudinya.[8] Proposal reaktivasiBerkali-kali reaktivasi digaungkan untuk jalur ini, tetapi tidak pernah terealisasikan. Pada Februari 1988, Bupati Ciamis kala itu, Momon Gandasasmita, menginstruksikan agar segera mereaktivasi jalur kereta api ini untuk meningkatkan pariwisata di kawasan Pangandaran (waktu itu Pangandaran masih bagian dari Ciamis). Kala itu, Momon Gandasasmita tengah melakukan tinjauan bersama Komisi D DPRD Jawa Barat untuk membahas potensi pariwisata Pangandaran.[9] Indonesian Railway Preservation Society (2007) pernah mencatat bahwa pada tahun 1997, petak Banjar–Banjarsari sempat diperbaiki dan beberapa lokomotif seperti BB300 dan D301 sempat dicoba untuk berjalan di jalur ini. Namun jalur ini ditutup lagi saat krisis ekonomi yang melanda seluruh Asia. Jalur dan bantalan yang baru pasang pun dibongkar pada 2000. Kereta CR 144 dan CR 16 yang tadinya dicoba untuk dijalankan di situ, akhirnya dipindah ke Surakarta dan menjadi kereta api uap Jaladara.[10] Pada tahun 2018, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menggaungkan kembali realisasi pengaktifan kembali jalur tersebut bersama jalur-jalur KA nonaktif prioritas lainnya di Jawa Barat. Rencananya reaktivasi dilakukan setelah jalur kereta api Cibatu–Cikajang direaktivasi karena lahan yang masih memungkinkan dibandingkan Rancaekek–Tanjungsari dan Bandung–Ciwidey. Pada tahun 2025 gubernur Jawa Barat terpilih Dedi Mulyadi kembali menghidupkan rencana ini dan menjadikan jalur ini prioritas reaktivasi tetapi belum ada progres reaktivasi untuk jalur ini.[11] Profil jalurPada saat jalur ini diteliti oleh Parlementaria, jalur ini diketahui menggunakan rel dengan nomor rel R2 dengan 38.000 bantalan sepanjang 60 km. Pada 1971, sebanyak 9.085 bantalan rel telah diganti. Bantalan rel yang digunakan terbuat dari kayu. Dengan didukung rel tersebut, kereta api antara Banjar hingga Cijulang dan sebaliknya membutuhkan waktu sekitar 4,17 jam. Kelajuan maksimumnya adalah 30 kilometer per jam (19 mph). D300 menjadi lokomotif yang digunakan, menggantikan lokomotif uap. Jika misalnya jalur ini tetap dipertahankan, menurut Parlementaria, perlu dilakukan peningkatan rel agar kereta api dapat berjalan setidaknya 60 kilometer per jam (37 mph).[6] Jalur terhubungLintas aktifLayanan kereta apiTidak ada layanan yang dijalankan di jalur ini. Daftar stasiun
Referensi
![]() Wikimedia Commons memiliki media mengenai Banjar-Cijulang railway line. |
Portal di Ensiklopedia Dunia