Jalur kereta api Rancaekek–Tanjungsari

Jalur kereta api Rancaekek–Tanjungsari
Viaduk Jatinangor
Ikhtisar
SistemJalur kereta api rel ringan
StatusTidak beroperasi
TerminusRancaekek
Tanjungsari
Stasiun5
Operasi
Dibangun olehStaatsspoorwegen
Legalitas pembangunanWet 4 Januari 1916 Staatblad No. 36
Dibuka13 Februari 1921; 104 tahun lalu (1921-02-13)
Ditutup1942; 83 tahun lalu (1942)
PemilikPT Kereta Api Indonesia (pemilik aset jalur dan stasiun)
OperatorWilayah Aset II Bandung (de facto)
Data teknis
Lebar sepur1.067 mm (3 ft 6 in)
Kecepatan operasi20–40 km/h (5,6–11,1 m/s)
Peta rute
elev (M)
atau panjang (m)
dalam meter

0+000
Rancaekek
(Left arrow BOO–PDL–KH Right arrow)
+668 M
4+685
Bojongloa
4+810
Cikeruh
8+139
Cileles
11+232
Tanjungsari
+855 M

elev (M)
atau panjang (m)
dalam meter
Jembatan Cikuda Jatinangor, dikenal juga dengan julukan "Jembatan Cincin" karena struktur pelengkung seperti layaknya jembatan kereta api di Eropa.

Jalur kereta api Rancaekek–Tanjungsari adalah salah satu jalur kereta api nonaktif di Jawa Barat dengan panjang lintas kurang lebih 11,2 km (7,0 mi). Jalur ini secara de facto termasuk dalam Wilayah Aset II Bandung.[1][2]

Sejarah

Perencanaan

Pada 24 Maret 1869, Menteri Kolonial Belanda, de Waal berkonsultasi dengan Kepala Eksploitasi Staatsspoorwegen Belanda, J.A. Kool dan seorang profesor dari Sekolah Politeknik Delft, N.H. Henket terkait lebar sepur yang dibutuhkan untuk jaringan rel di Hindia Belanda. Pada 20 September 1869, terbentuk rencana umum perkeretaapian yang berisi rekomendasi lebar sepur, rancangan awal untuk empat jalur, dan jalur-jalur penting yang harus dibangun, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta Hindia Belanda. Jalur Bandung–Cirebon masuk ke dalam daftar jalur kereta api penting yang direkomendasikan untuk dibangun.[3]:25

Pada 1894, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan survei untuk jalur kereta api yang menghubungkan Keresidenan Priangan dengan Cirebon. Percabangan dimulai dari Stasiun Malangbong (sekarang Bumiwaluya) di Garut, kemudian berjalan ke utara hingga Cirebon. Namun, rencana ini batal terlaksana.[4]

Pembangunan jalur kereta api tersebut dimulai dari Rancaekek, melalui Tanjungsari–Sumedang yang bertujuan untuk menjangkau perkebunan di daerah Jatinangor, serta mendukung pertahanan militer di wilayah Sumedang.

Pembangunan

Pada 4 Januari 1916, Belanda mengeluarkan staatblad yang menjadi dasar pembangunan jalur kereta api Rancaekek–Jatinangor. Jalur kereta api selesai beroperasi dan dibuka pada 23 Oktober 1916. Jalur kereta api tersebut kemudian diperpanjang hingga Tanjungsari yang mulai dibangun pada tahun 1918.[5] Pada 13 Februari 1921, keseluruhan jalur Rancaekek–Tanjungsari resmi dioperasikan.[6]

Pada 23 Februari 1919, Belanda mengeluarkan peraturan untuk membangun segmen Tanjungsari–Citali. Namun, segmen kelanjutan tersebut gagal dibangun akibat Depresi Besar dan kondisi kas negara Hindia-Belanda yang terpuruk dalam Perang Dunia I.[7] Bukti bahwa segmen tersebut pernah dibangun dapat ditelusuri melalui keberadaan bekas calon tubuh baan dan pilar jembatan di timur Stasiun Tanjungsari yang disebut Tunggul Hideung oleh warga sekitar.[8]

Jalurnya sendiri dinonaktifkan pada tahun 1942 karena dibongkar oleh pekerja romusa Jepang.[9] Walaupun demikian sebagian dari jejak-jejak jalur tersebut masih ada, seperti Jembatan Cincin Cikuda, Viaduk Jatinangor, dan Stasiun Tanjungsari. Stasiun yang tersisa hanyalah Stasiun Tanjungsari yang kini diubah menjadi kantor sekretariat Persatuan Purnawirawan ABRI Tanjungsari.[10]

Jembatan Cikuda merupakan salah satu tengaran peninggalan sejarah yang terkenal di Jatinangor. Saat ini, masyarakat memakai jembatan kereta api berusia seabad lebih ini sebagai alat penyeberangan dan menyebutnya dengan nama Jembatan Cincin. Persoalan biaya membuat SS meminimalkan anggaran saat itu, termasuk membuat keputusan untuk menggunakan beton dalam pembangunan jembatan-jembatan. Penggunaan beton dalam membangun jembatan relatif lebih murah dibanding penggunaan bahan besi baja yang harganya cukup tinggi karena peperangan.

Usulan reaktivasi

Pada 13 September 2018 Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengumumkan akan melakukan reaktivasi jalur ini beserta dua jalur lainnya, yaitu Cikudapateuh–Ciwidey dan Banjar–Cijulang.[11] Akan tetapi, tubuh baan jalur ini dianggap sukar direaktivasi karena sudah padat oleh permukiman penduduk dan jalan raya.[2]

Jalur kereta ini melintasi kawasan Jatinangor, yang dikenal sebagai kawasan pendidikan tinggi, dengan sejumlah institusi ternama seperti ITB Kampus Jatinangor, Universitas Padjadjaran, Institut Pemerintahan Dalam Negeri, serta IKOPIN.[12]

Jalur yang terhubung

Lintas aktif

Lintas nonaktif

Tidak terhubung dengan lintasan kereta api nonaktif manapun.

Layanan kereta api

Tidak ada layanan kereta api yang dijalankan di jalur ini.

Daftar stasiun

Nomor Nama stasiun Singkatan Alamat Letak Ketinggian Status Foto
Lintas Bandung–Banjar–Maos
Segmen Rancaekek–Tanjungsari
Diresmikan pada tanggal 13 Februari 1921
oleh Staatsspoorwegen Westerlijnen
Termasuk dalam Daerah Operasi II Bandung
1603 Rancaekek RCK Rancaekek Wetan, Rancaekek, Bandung km 172+977 lintas BogorBandungBanjarKutoarjoYogyakarta
km 0+000 lintas RancaekekTanjungsari
+668 m (132,8 rd) Beroperasi
- Bojongloa - Bojongloa, Rancaekek, Bandung km 4+685 Tidak beroperasi
- Cikeruh - Cikeruh, Jatinangor, Sumedang km 4+810 Tidak beroperasi
- Cileles - Cinanjung, Tanjungsari, Sumedang km 8+139 Tidak beroperasi
- Tanjungsari - Jalan SS, Tanjungsari, Tanjungsari, Sumedang km 11+232 +855 m Tidak beroperasi

Keterangan:

  • Stasiun yang dicetak tebal merupakan stasiun kelas besar dan kelas I.
  • Stasiun yang dicetak miring merupakan stasiun nonaktif.

Referensi:

  • Letak stasiun: [13][14]
  • Pengidentifikasi stasiun: [15]
  • Tanggal pembukaan jalur: [16]:106-124


Referensi

  1. ^ Durohman, Ibad. "Perjalanan Gugatan Warga Jatinangor Atas Lahan Rel KA di Jabar". detikcom. Diakses tanggal 2018-11-08.
  2. ^ a b Idris, Muhammad. "Sulitnya Hidupkan Rel KA Rancaekek-Tanjungsari, Banyak Rumah Warga". detikcom. Diakses tanggal 2018-11-08.
  3. ^ Reitsma, Steven Anne (1928). Korte geschiedenis der Nederlandsch-Indische spoor- en tramwegen (dalam bahasa Belanda). Weltevreden: G. KOLFF & Co. Pemeliharaan CS1: Status URL (link)
  4. ^ "De railverbinding-Bandoeng- Soemedang-Cheribon". Deli courant. 1917-08-18. Diakses tanggal 2025-05-21.
  5. ^ Perquin, B. L. M. C. (1921). Nederlandsch Indische staatsspoor- en tramwegen (dalam bahasa Nederlands). Bureau Industria. Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
  6. ^ Perquin, B.L.M.C. (1921). Nederlandsch Indische staatsspooren tramwegen. Bureau Industria.
  7. ^ Mulyana, Agus. (2017). Sejarah Kereta Api di Priangan. Bandung: Penerbit Ombak. hlm. 186. ISBN 602-258-453-1.
  8. ^ Azis, Nur. "Puing Tunggul Hideung, Sisa Kejayaan Perkeretaapian Belanda di Sumedang". detiknews. Diakses tanggal 2025-01-20.
  9. ^ Nusantara., Tim Telaga Bakti; Indonesia., Asosiasi Perkeretaapian (1997). Sejarah perkeretaapian Indonesia (Edisi Cet. 1). Bandung: Angkasa. ISBN 9796651688. OCLC 38139980.
  10. ^ "Sulitnya Mencari Jejak Rel yang Hilang". Metrum. 27 Oktober 2018. Diakses tanggal 8 November 2018.
  11. ^ Pribadi, Andy (2018-09-13). "Ridwan Kamil Bakal Bangun Lintasan Kereta Api di Jalur Selatan". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2018-11-08.
  12. ^ "Menuju Transportasi Jabar Juara". Humas Jabar. 9 September 2019. Diarsipkan dari asli tanggal 2020-02-01. Diakses tanggal 1 Februari 2020.
  13. ^ Subdirektorat Jalan Rel dan Jembatan (2004). Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian. Bandung: PT Kereta Api (Persero). ;
  14. ^ Perusahaan Umum Kereta Api (1992). Ikhtisar Lintas Jawa.
  15. ^ Arsip milik alm. Totok Purwo mengenai Nama, Kode, dan Singkatan Stasiun Kereta Api Indonesia
  16. ^ Reitsma, S.A. (1928). Korte Geschiedenis der Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramwegen. Weltevreden: G. Kolff & Co.
Prefix: a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Portal di Ensiklopedia Dunia

Kembali kehalaman sebelumnya