Jalur kereta api Rancaekek–Tanjungsari
![]() Jalur kereta api Rancaekek–Tanjungsari adalah salah satu jalur kereta api nonaktif di Jawa Barat dengan panjang lintas kurang lebih 11,2 km (7,0 mi). Jalur ini secara de facto termasuk dalam Wilayah Aset II Bandung.[1][2] SejarahPerencanaanPada 24 Maret 1869, Menteri Kolonial Belanda, de Waal berkonsultasi dengan Kepala Eksploitasi Staatsspoorwegen Belanda, J.A. Kool dan seorang profesor dari Sekolah Politeknik Delft, N.H. Henket terkait lebar sepur yang dibutuhkan untuk jaringan rel di Hindia Belanda. Pada 20 September 1869, terbentuk rencana umum perkeretaapian yang berisi rekomendasi lebar sepur, rancangan awal untuk empat jalur, dan jalur-jalur penting yang harus dibangun, baik oleh pemerintah maupun pihak swasta Hindia Belanda. Jalur Bandung–Cirebon masuk ke dalam daftar jalur kereta api penting yang direkomendasikan untuk dibangun.[3] Pada 1894, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan survei untuk jalur kereta api yang menghubungkan Keresidenan Priangan dengan Cirebon. Percabangan dimulai dari Stasiun Malangbong (sekarang Bumiwaluya) di Garut, kemudian berjalan ke utara hingga Cirebon. Namun, rencana ini batal terlaksana.[4] Pembangunan jalur kereta api tersebut dimulai dari Rancaekek, melalui Tanjungsari–Sumedang yang bertujuan untuk menjangkau perkebunan di daerah Jatinangor, serta mendukung pertahanan militer di wilayah Sumedang. PembangunanPada 4 Januari 1916, Belanda mengeluarkan staatblad yang menjadi dasar pembangunan jalur kereta api Rancaekek–Jatinangor. Jalur kereta api selesai beroperasi dan dibuka pada 23 Oktober 1916. Jalur kereta api tersebut kemudian diperpanjang hingga Tanjungsari yang mulai dibangun pada tahun 1918.[5] Pada 13 Februari 1921, keseluruhan jalur Rancaekek–Tanjungsari resmi dioperasikan.[6] Pada 23 Februari 1919, Belanda mengeluarkan peraturan untuk membangun segmen Tanjungsari–Citali. Namun, segmen kelanjutan tersebut gagal dibangun akibat Depresi Besar dan kondisi kas negara Hindia-Belanda yang terpuruk dalam Perang Dunia I.[7] Bukti bahwa segmen tersebut pernah dibangun dapat ditelusuri melalui keberadaan bekas calon tubuh baan dan pilar jembatan di timur Stasiun Tanjungsari yang disebut Tunggul Hideung oleh warga sekitar.[8] Jalurnya sendiri dinonaktifkan pada tahun 1942 karena dibongkar oleh pekerja romusa Jepang.[9] Walaupun demikian sebagian dari jejak-jejak jalur tersebut masih ada, seperti Jembatan Cincin Cikuda, Viaduk Jatinangor, dan Stasiun Tanjungsari. Stasiun yang tersisa hanyalah Stasiun Tanjungsari yang kini diubah menjadi kantor sekretariat Persatuan Purnawirawan ABRI Tanjungsari.[10] Jembatan Cikuda merupakan salah satu tengaran peninggalan sejarah yang terkenal di Jatinangor. Saat ini, masyarakat memakai jembatan kereta api berusia seabad lebih ini sebagai alat penyeberangan dan menyebutnya dengan nama Jembatan Cincin. Persoalan biaya membuat SS meminimalkan anggaran saat itu, termasuk membuat keputusan untuk menggunakan beton dalam pembangunan jembatan-jembatan. Penggunaan beton dalam membangun jembatan relatif lebih murah dibanding penggunaan bahan besi baja yang harganya cukup tinggi karena peperangan. Usulan reaktivasiPada 13 September 2018 Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengumumkan akan melakukan reaktivasi jalur ini beserta dua jalur lainnya, yaitu Cikudapateuh–Ciwidey dan Banjar–Cijulang.[11] Akan tetapi, tubuh baan jalur ini dianggap sukar direaktivasi karena sudah padat oleh permukiman penduduk dan jalan raya.[2] Jalur kereta ini melintasi kawasan Jatinangor, yang dikenal sebagai kawasan pendidikan tinggi, dengan sejumlah institusi ternama seperti ITB Kampus Jatinangor, Universitas Padjadjaran, Institut Pemerintahan Dalam Negeri, serta IKOPIN.[12] Jalur yang terhubungLintas aktifLintas nonaktifTidak terhubung dengan lintasan kereta api nonaktif manapun. Layanan kereta apiTidak ada layanan kereta api yang dijalankan di jalur ini. Daftar stasiun
Referensi
![]() Wikimedia Commons memiliki media mengenai Rancaekek-Jatinangor railway line. |
Portal di Ensiklopedia Dunia